Sabtu, 23 Oktober 2010

FENOMENA

Zaman adalah merupakan sebuah proses perputaran dari masa dan periode  yang telah berlalu dengan begitu cepat, kenyataan ini selalu menjadikan fenomena pemikiran serta penglihatan pada setiap mata kita. Maka sudah seyogianya kita semua sudah bisa melihat, merasakan  dan memikirkan semua realita dengan begini-begitu adanya. Banyak persoalan yang masih terdapat pada lingkungan peradaban sosial  manusia saat ini,
Begitu juga dengan para politisi atau calon legislatif yang hendak sibuk dengan pencalonan dirinya. Dalam hal inilah terdapat suatu kontrak pada siapapun yang terkait pada masa pendukungannya, sebaliknya menjadikan problematik sosial pada masyarakat untuk menilai pola-pola indikasi yang membedakan pada seorang legislatif sudah menduduki kursi jabatannya.

Karena pola pikir seorang politikus dengan seorang pekerja sebenarnya merupakan dua kutub yang berbeda, karena seorang pekerja akan bertanya berapa upah yang harus diterima ketika tenaganya sudah digerakkan, sementara seorang politisi akan berfikir jabatan apa yang harus didapat ketika akan melakukan sebuah aksi.
Sekarang antara pekerja dan politisi hanya dibatasi sebuah koridor yang rapuh, belakangan politisi akan berhitung dengan rupiah ketika tengah berusaha mengejar kekuasaan.
Besaran dana yang dikeluarkan ketika menggerakkan massa, saat kampanye akan dihitung sebagai modal, berikutnya ketika kekuasaan dan jabatan sudah didapat, mereka akan berusaha untuk menarik kembali modal itu.
Bahkan kalau perlu sekaligus dengan keuntungan yang berlipat ganda, hitungan matematika dan yang dikeluarkan perlu rentang waktu dengan batasan waktu 5 tahun masa jabatan, sementara itu sejumlah tanggungan harus diselesaikan secara instant.

Persoalannya legislatif atau anggota dewan bukanlah sebuah pekerjaan dengan kompensasi penghasilan yang sudah dipatok oleh bagian kepegawaian. Dewan adalah sebuah profesi yang tidak harus diberikan standart besaran gaji. Artinya konotasi standartisasi itu bisa standart kecil, standart normal atau standart yang lebih besar, karena melihat dampak dari itu semua menjadikan celah atau indikasi dari suatu penyelesaian pribadi yang instant itu sendiri. 

Dibalik fenomena ini terbesit pada hal kebutuhan manusia itu tidak dapat diukur dengan bandrol atau tabel, ketika perutnya keroncongan si miskin akan berkata makan apa kita hari ini, sebaliknya untuk kaum berduit akan berfikir apa yang harus kita makan dengan rupiah yang dikantongi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar